MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN
(ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
)
MANAJEMEN PENDIDIKAN CORPORATE
Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah
Filsafat Pendidikan
Oleh:
JATMIKO NIM
0102514070
MARIA FRANSISKA MUNI NIM 0102514071
ANALISA NIM 0102514072
KARTIKA SUSILOWATI NIM 0102514073
EROT SUTIANAH NIM 0102514074
ARIFUDIN NIM 0102514075
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
KONSENTRASI KEPENGAWASAN
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
................................................................................ 1
1.1. Latar
Belakang............................................................................................ 1
1.2. Rumusan
Masalah....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN …............................................................................ 3
2.1 Pengertian Tinjauan Filsafat : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi ...... 3
2.2 Tinjauan Ontologi Manajemen Pendidikan Berbasis Corporate ............... 4
Sejarah
Korporasi ……………………………………………………… 10
2.3 Tinjauan Epistemologi Manajemen Pendidikan
Berbasis Corporate ....... 13
2.4 Tinjauan Aksiologi Manajemen Pendidikan
Berbasis Corporate .............. 18
2.4.1
Kepemimpinan Corporate ………………………………………… 18
2.4.2
Marketing dalam Jasa Pendidikan ………………………………… 20
2.4.3
Dampak Manajemen Pendidikan Berbasis Corporate ……………… 24
BAB III PENUTUP
......................................................................................... 28
3.1 Simpulan
................................................................................................. 28
3.2 Saran........................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 30
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara
eksistensial, persoalan pendidikan dan manusia bagaikan hubungan antara jiwa
dan raga manusia. Jika jiwa berpotensi menggerakan raga manusia, maka kehidupan
manusia pun digerakan oleh pendidikan ke arah pencapaian tujuan akhir
(Suparlan, 2008: 91). Pendidikan, sebagai salah satu dari serangkaian persoalan
yang melekat secara kodrati di dalam kehidupan manusia dapat dianalisis secara
sistematis, integral, menyeluruh, mendasar dan objektif melalui kajian
filsafat. Sebagaimana dikemukakan seorang filsuf dari Amerika, John Dewey
(dalam Imam Barnadib (1993: 3) filsafat itu merupakan teori umum dari
pendidikan, atau filsafat merupakan landasan dari semua pemikiran mengenai
pendidikan.
Persoalan
manusia yang berkaitan dengan bidang pendidikan itu sendiri sebenarnya masih
merupakan suatu hamparan yang sangat luas. Apalagi pada era transformasi globalisasi
pada dekade terakhir ini, persoalan pendidikan semakin kompleks dan rumit.
Konsep pendidikan dalam arti luas sebagaimana dijelaskan Soegarda Poerwakawatja
(1976 dalam Jalaludin, 2007: 21) sebagai perbuatan dan usaha dari generasi tua
untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan dan keterampilannya kepada
generasi muda agar dapat memahami fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani.
Upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemampuan anak untuk
memikul tanggung jawab moral dari segala perbuatannya. Proses pendidikan adalah
proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan dari proses perkembangan tersebut
secara alamiah adalah kedewasaan, kematangan dari kepribadian manusia. Dalam
upaya mencapai tujuannya secara efektif dan efisien, pendidikan membutuhkan
fungsi manajemen. Suharsimi Arikunto (2008: 4) menjelaskan manajemen pendidikan
adalah serangkaian kegiatan yang berupa proses pengelolaan usaha kerjasama
sekelompok manusia yang bergabung dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien.
Pada kajian ini bermaksud mengangkat satu fenomena persoalan pendidikan
yang berkaitan dengan manajemen pendidikan, ditinjau dari ilmu filsafat.
Tinjauan filsafat yang dimaksud meliputi ontologi, epitemologi dan aksiologi
difokuskan pada persoalan manajemen pendidikan. Bidang manajemen pendidikan
memiliki objek kajian fungsi manajemen dalam kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian pendidikan dalam upaya
mencapai tujuan pendidikan secara efektif. Ruang lingkup persoalan manajemen
pendidikan pada kajian ini secara khusus dibahas dari sudut pandang corporate.
lembaga pendidikan sebagai sebuah corporate suatu organisasi produksi yang
menghasilkan jasa pendidikan yang dibeli oleh para konsumen. Konsep yang dianut
dalam korporasi yaitu menekankan pada efisiensi, kreativitas dan meningkatkan
produktivitas serta menjaga kualitas. Maka tugas lembaga pendidikan adalah
bagaimana supaya masyarakat tertarik dengan program yang ditawarkan dan bagaimana
lembaga pendidikan menunjukkan bahwa lembaganya merupakan lembaga yang bermutu.
Corporate pada
dasarnya adalah suatu bentuk usaha kerja sama. Korporasi produksi pendidikan
terdiri atas: 1) Penyelenggara pendidikan yaitu satuan pendidikan yang
didirikan oleh pemerintah atau masyarakat swasta, didukung oleh pimpinan
(seperti rector, dekan, ketua, direktur, dan kepala sekolah), pendidik (guru
dan dosen), dan tenaga pendukung administrasi; 2)Peserta didik yang bekerja
sama secara langsung dengan pendidik dalam melaksanakan transformasi ilmu
pengetahuan yang dikaji sehingga menjadi sebuah kompetensi yang harus dimiliki
peserta didik; 3) Pengguna kompetensi hasil pendidikan yaitu orang tua dan keluarga
peserta didik, masyarakat, dunia kerja, bangsa dan Negara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
ruang lingkup kajian sebagaimana dikemukakan pada pendahuluan di atas, maka
tinjauan filsafat manajemen pendidikan pada makalah ini diarahkan untuk
menjawab permasalahan tentang: (a) apa hakekat realita, objek manajemen pendidikan
berbasis corporate (ontologi), (b) bagaimana cara memperoleh pengetahuan
manajemen pendidikan berbasis corporate (epistemologi), dan (c) apa nilai-nilai
yang bermanfaat dari manajemen pendidikan berbasis corporate (aksiologi).
II.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tinjauan Filsafat:
Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami
persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman
manusia. Dengan demikian filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia,
termasuk masalah kehidupan dalam bidang pendidikan. Jawaban hasil pemikiran
filsafat bersifat sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Filsafat dalam
mencari jawaban dilakukan dengan cara ilmiah, objektif, memberikan
pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi manusia, demikian halnya
untuk menjawab persoalan-persoalan manusia dalam bidang pendidikan, (Jalaludin,
2007: 125).
Pada
prinsipnya filsafat menempatkan sesuatu berdasarkan kemampuan daya nalar
manusia. Kebenaran dalam konteks filsafat adalah kebenaran yang tergantung
sepenuhnya pada kemampuan daya nalar manusia. Kemampuan berpikir atau bernalar
merupakan satu bentuk kegiatan akal manusia melalui pengetahuan yang diterima
melalui panca indera, diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran.
Ada
beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi,
epistemologi dan aksiologi (Jalaludin, 2007: 126). Ontologi seringkali
diidentifikasikan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat
atau filsafat yang pertama. Persoalan tentang ontologi menjadi pembahasan yang
utama dalam bidang filsafat, yang membahas tentang realitas. Realitas adalah
kenyataan yang selanjutnya menjurus pada sesuatu kebenaran. Realitas dalam
ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya hakikat
realitas yang ada ini?; apakah realitas yang tampak ini sesuatu realita materi
saja? Adakah sesuatu di balik realita itu? Apakah realitas ini terdiri dari
satu bentuk unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau pluralisme? Dalam
pendidikan, kegiatan membimbing anak untuk memahami realita dunia dan membina
kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita merupakan stimulus
menyelami kebenaran tahap pertama. Dengan
demikian potensi berpikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran telah
dibina sejak awal oleh guru di sekolah atau pun oleh orangtua di keluarga.
Epistemologi
adalah nama lain dari logika material atau logika mayor yang membahas dari isi
pikiran manusia, yaitu pengetahuan. Epistemologi merupakan studi tentang
pengetahuan, bagaimana mengetahui benda-benda. Pengetahuan ini berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: cara manusia memperoleh dan menangkap
pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap
pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda
hingga akhirnya diketahui manusia. Dengan demikian epistemologi ini membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas,
dan hakekat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa
ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya.
Aksiologi
adalah bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value). Nilai dan implikasi
aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai (nilai tindakan moral, nilai ekspresi keindahan
dan nilai kehidupan sosio-politik) di dalam kehidupan manusia dan membinanya ke
dalam kepribadian anak. Pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi adalah
apakah yang baik atau bagus? (Muhammad Noor Syam, 1986 dalam Jalaludin, 2007:
84).
Dari
ketiga teori kebenaran menurut pandangan filsafat yang telah diuraian di atas
selanjutnya sebagai dasar untuk menganalisis persoalan manajemen pendidikan
berbasis corporate.
2.2 Tinjauan
Ontologi Manajemen Pendidikan Berbasis corporate
Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, manajemen pendidikan
yang dimaksud pada kajian ini adalah manajemen pendidikan corporate. Konsep
dasar dari manajemen pendidikan corporate adalah terdapat definisi mengenai
manajemen, pendidikan, dan tentang corporate (korporasi).
Manajemen berasal
dari kata “manus” yang berarti “tangan”, berarti menangani sesuatu,
mengatur, membuat sesuatu menjadi seperti yang diinginkan dengan mendayagunakan
seluruh sumber daya yang ada. Secara teoritis, setiap ahli memberikan
pandangan yang berbeda tentang batasan manajemen, karena itu tidak mudah
memberi arti universal yang dapat diterima semua orang. Namun demikian dari
pemikiran-pemikiran ahli tentang defenisi manajemen kebanyakan menyatakan bahwa
manajemen merupakan suatu proses mendayagunakan orang dan sumber lainnya untuk
mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
Berikut ini
merupakan definisi manajemen dari beberapa ahli:
a)
Menurut Syamsi (1985:10)
“Manajemen adalah seluruh kegiatan dalam setiap usaha kerjasama yang
dilakukan oleh sekelompok atau lebih orang-orang secara bersama-sama dan
simultan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”.
b)
Menurut Soepardi (1988:7)
“ Manajemen adalah keseluruhan proses kegiatan-kegiatan kerja sama
yang dilakukan oleh sekelompok atau lebih secara bersama-sama dan simultan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
c)
Mary
Parker Follet manajemen adalah suatu seni untuk melaksanakan suatu
pekerjaan melalui orang lain dengan kata lain bahwa para manajer mencapai suatu
tujuan organisasi dengan cara mengatur orang-orang lain untuk melaksanakan apa
saja yang perlu dalam pekerjaan itu, bukan dengan cara melaksanakan pekerjaan
itu oleh dirinya sendiri.
d)
Siagian
dalam buku Filsafat Manajemen, managementdapat
didefinisikan sebagai “kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil
dalam rangka pencapaian tujuan melalui orang lain”.
e)
Arifin
Abdulrachman dalam buku Kerangka Pokok-Pokok Management, management
dapat diartikan :
-
kegiatan-kegiatan/aktivitas-aktivitas;
-
proses,
yakni kegiatan dalam rentetan urutan- urutan;
-
insitut/
orang – orang yang melakukan kegiatan atau proses kegiatan
f)
P.
Siagian (1985;2) mengatakan bahwa manajemen adalah keseluruhan proses
pelaksanaan daripada keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada
umumnya dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan.
g)
Menurut Boone dan Kurtz (1984:4) “Management
is the use of people and other resources to accomplish objective”.
Berbagai macam definisi
yang telah disampaikan oleh ahli tersebut pada prinsipnya memiliki kesamaan
yang cukup identik, karena pembahasan ahli mengenai manajemen terdapat pada
pokok-pokok tertentu diantaranya mengenai seni untuk
mengelola sesuatu sesuai yang diharapkan, sebuah proses yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem manajemen. Jadi, saya
menyimpulkan bahwa manajemen adalah sebuah seni untuk mempengaruhi orang lain
sehingga mau dan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinstruksikan
sehingga tujuan yang ingin dicapai terpenuhi dengan cara sistematis, diawali
dengan perencanaan yang baik hingga terjadi pengawasan dan evaluasi dari
hal-hal yang telah dilakukan tersebut.
Definisi pendidikan
dapat dilihat secara umum maupun khusus, beberapa pendapat ahli mengenai
pendidikan adalah sebagai berikut:
a) John Dewey, merupakan penganut
aliran filsafat pragmatisme. Seorang pragmatis berpendapat bahwa suatu
pengetahuan itu benar apabila pengetahuan itu berguna dalam memecahkan masalah
kehidupan. Jadi mengandung nilai praktis. Pendidikan memiliki 2 aspek yakni
aspek psikologis dan aspek sosiologis. Aspek psikologis artinya tiap anak
mempunyai daya atau potensi yang harus dikembangkan. Aspek sosiologis adalah
bahwa perkembangan daya atau potensi itu diarahkan agar bremanfaat dalam
kehidupan sosial.
b) John Locke (1632-1704), ia
seorang tabib yang ahli filsafat dan ahli ilmu jiwa. Tentang masalah pendidikan
Locke berpendapat bahwa pendidikan itu berkuasa bahkan maha kuasa. Ia tidak
percaya adanya pembawaan (bakat). Tujuan pendidikan menurut dia adalah membetuk
seseorang kasatria (gentleman) yang saleh dan berguna bagi hidup bersama
dalam masyarakat. Sebagai seorang tabib (dokter) ia menekankan pentingnya
pendidikan jasmani. Locke juga adalah seorang deist (De=Deus=Tuhan). Tetapi ia
tidak mau menerima ajaran agama yang dogmatis (kaku, beku, lugu). Baginya agama
adalah akal budi. Oleh karenat itu ia memperhatikan pendidikan kesusilaan.
Manusia harus mampu munguasai diri sendiri dan memiliki harga diri.
c) Menurut M.J.
Langeveld ; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing
yang belum kepada kedewasaan.
d) UU Nomor 20 tahun 2003,”Pengertian
Pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Pendidikan dalam perspektif filsafat memiliki definisi yang
berbeda sesuai dengan aliran filsafat itu sendiri, akan tetapi secara umum
dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha seseorang untuk
memperoleh pengetahuan yang diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas diri
sehingga terjadi peningkatan harga diri dan mampu memberikan kenyamanan yang
mungkin tidak diperoleh oleh orang-orang yang tidak berpendidikan.
Manajemen pendidikan secara
sederhana didefinisikan sebagai suatu cara pengelolaan sumberdaya pendidikan
meliputi segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan. Pengelolaan bertujuan
untuk peningkatan kualitas pendidikan serta pencapaian pendidikan itu sendiri.
Akan tetapi terdapat beberapa definisi yang diberikan oleh ahli mengenai
manajemen pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Syarif (1976:7) “segala usaha bersama
untuk mendayagunakan sumber-sumber (personil maupun materiil) secara efektif
dan efisien untuk menunjang tercapainya pendidikan.
b) Sutisna (1979:2-3) Manajemen
pendidikan adalah keseluruhan (proses) yang membuat sumber-sumber
personil dan materiil sesuai yang tersedia dan efektif bagi tercapainya
tujuan-tujuan bersama. Ia mengerjakan fungsi fungsinya dengan jalan
mempengaruhi perbuatan orang-orang. Proses ini meliputi perencanaan,
organisasi, koordinasi, pengawasan, penyelenggaraan dan pelayanan dari segala
sessuatu mengenai urusan sekolah yang langsung berhubungan dengan pendidikan
sekolah seperti kurikulum, guru, murid, metode-metode, alat-alat pelajaran, dan
bimbingan. Juga soal-soal tentang tanah dan bangunan sekolah, perlengkapan,
pembekalan, dan pembiayaan yang diperlukan penyelenggaraan pendidikan termasuk
didalamnya.
c) Made Pidarta, (2000). Manajemen
Pendidikan diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber
pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan sebelumnya.
d) Engkoswara (2001:2). Manajemen pendidikan
ialah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana
yang baik bagi manusia yang turut serta di dalam mencapai tujuan yang disepakati
bersama.
e) Sagala (2005:27) mengemukakan bahwa
Manajemen pendidikan adalah penerapan ilmu Manajemen dalam dunia pendidikan
atau sebagai penerapan Manajemen dalam pembinaan, pengembangan, dan
pengendalian usaha dan praktek-praktek pendidikan. Manajemen pendidikan adalah
aplikasi prinsip, konsep dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
f) Tilaar (2006:4) manajemen pendidikan
adalah suatu kegiatan yang mengimplementasikan perencanaan atau rencana
pendidikan.
Berdasarkan definisi tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa Manajemen pendidikan adalah segala usaha bersama
mulai dari perencanaan, pengorganisassian, pelaksanaan, dan pengevaluasian
dalam hal mendayagunakan semua sumber daya yang ada secara efektif dan efisien
guna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan yaitu tujuan pendidikan.
Jadi “Manajemen pendidikan adalah
proses keseluruhan kegiatan bersama dalam bidang pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pelaporan, pengkoordinasian,
pengawasan dan pembiayaan, dengan menggunakan atau memanfaatkan fasilitas yang
tersedia, baik personil, materiil, maupun spirituil untuk mencapai tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien.”
Secara harfiah korporasi (corporatie,
Belanda), Corporation (Inggris)
berasal dari kata “Corporatio” dalam
bahasa latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, ”Corporatio” sebagai kata benda
(substantivum) berasal dari kata kerja “Corparare”
yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu. “Corparare” sendiri berasal dari kata “Corpus” (Indonesia = badan) yang berarti memberikan badan atau
membadankan. Dengan demikian Corporatio itu berasal dari hasil pekerjaan membadankan.
Berikut ini merupakan
defenisi Korporasi dari beberapa ahli:
a)
Soetan
K. Malikoel (1995:83) Korporasi adalah Badan yang dijadikan orang, badan yang
diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan badan manusia
yang terjadi menurut alam.
b)
Rudi Prasetyo (1989:2) korporasi diartikan
sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hokum bertindak bersama-sama
sebagai subjek hokum tersendiri atau suatu personifikasi.
c)
Satjipto Raharjo (1987:110) Korporasi adalah term yang lazim digunakan untuk menyebut
badan hokum (rechstperson atau legal entity) yang sudah melembaga.
Korporasi ini merupakan badan hasil ciptaan hokum yang unsure-unsurnya terdiri
dari corpus (struktur fisiknya) dan animus (kepribadiannya).
d) Mahrus Ali (2008:14)
Korporasi adalah badan hokum yang beranggota serta memiliki hak dan kewajiban
anggota masing-masing.
Dari beberapa pengertian korporasi diatas dapat
disimpulkan bahwa korporasi merupakan badan hukum yang secara sengaja
diciptakan oleh hokum itu sendiri, dan dengan itu ia mempunyai kepribadian.
Timbulnya pengertian badan hukum itu
sendiri sebenarnya terjadi tiada lain akibat dari perkembangan masyarakat
menuju modernisasi (Chaidir Ali, 1991). Dahulu di alam yang masih primitive,
atau katakanlah didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha
hanya dijalankan secara perorangan. Tetapi dalam perkembangannya, tumbuhlah
kebutuhan untuk menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang
yang mungkin atas dasar pertimbangan agr dapat menghimpun modal yang lebih
banyak, atau mungkin pula mempunyai maksud dengan bergabungnya keterampilan
akan lebih berhasil dari pada jika dilaksanakan hanya seorang diri. Mungkin
pula atas dasar pertimbangan dengan cara demikian mereka dapat membagi resiko
terhadap kerugian yang mungkin timbul dalam proses kegiatan kerjasama itu (Zul
Akrial :2003). Dari situlah kemudia timbul suatu keinginan untuk membuat suatu
wadah seperti badan hokum agar kepentingan-kepentingan masing-masing oranng
bias lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin timbul dari
bentuk kerjasama yang dijalankan.
Adapun pengertian korporasi dalam
Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan yang dihimpun oleh A.
Abdurrachman sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan Dwija Prijatno, yaitu
Corporatio (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau
suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang sesuatu negara untuk
menjalankan suatu usaha atau aktivitas atau kegiatan lainnya yang sah. Badan
ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu
terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat
dituntut dimuka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan
menurut kontrak dan melaksanakannya menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi
lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara.
Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu organisasi pemerintah,
setengah pemerintah atau partikelir
Hakekat manajemen pendidikan berbasis corporate adalah segala usaha
bersama mulai dari perencanaan, pengorganisassian, pelaksanaan, dan
pengevaluasian dalam hal mendayagunakan semua sumber daya yang ada secara
efektif dan efisien guna pencapaian tujuan pendidikan yang berbadan hukum yang
diciptakan menurut undang-undang untuk menjalankan suatu usaha atau aktivitas
atau kegiatan lainnya yang sah mempunyai nama dan identitas yang dengan nama
dan identitas itu dapat dituntut dimuka pengadilan, dan berhak akan mengadakan
suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakannya menurut kontrak dan
melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut
undang-undang suatu negara.
Sejarah Korporasi
Setelah perang dunia II aktifitas dari
Multinational Corporation (MNC) berkembang pesat. MNC mulai mendominasi pasca
PD II karena Pasca perang industri negara pertama mulai menurun dan AS merupakan satu-satunya Negara
yang masih kuat. Terjadi akumulasi capital yang cepat untuk kemudian memacu
perkembangan teknologi di AS. MNC merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh
kapitalis untuk mendapat keuntungan sebanyak mungkin (memperoleh bahan mentah
dan buruh murah di berbagai Negara) gejala munculnya korporasi yang
multinasional ini sebenarnya sudah ada sejak abad pertengahan, contohnya pada
abad ke-16 hingga abad ke-18 dikenal adanya perusahaan dagang seperti “East
India Company”
Sesuai dengan penjelasan Marx yang banyak memfokuskan pada institusi
ekonomi, multinationalcorporation
lahir akibat tiga kondisi utama yang diciptakan oleh perkembangan kapitalisme:
1.
Kondisi perusahaan
kapitalis memaksakan kebutuhan pada perusahaan individual untuk terus memperluas
perekonomiannya, hal ini seperti apa yang ditulis Marx dalam Capital, perkembangan produksi
kapitalis membuatnya terus-menerus diperlukan untuk terus meningkatkan jumlah
modal dalamsuatu usaha industri tertentu,
dan persaingan membuat hukum-hukum imanen dari produksi kapitalisdirasakan
oleh masing-masing individu kapitalis, sebagai hukum koersif eksternal.
2.
Tumbuhnya konsentrasi modal terakumulasi pada semakin
sedikit pengusaha (korporat), yang kemudian menimbulkan dua hal yang saling
berkaitan, yaitu penyebaran produksi dalam skala besar dan kombinasi dari
beberapa perusahaan (misalnya merger dan akuisisi).
3.
Pasar dunia menyediakan ruang tambahan bagi
barang-barang produksi kapitalis. Pertama pasar dunia seolah menyediakan elemen
dasar guna menyuport kapitalisme tersebut, misalnya adanya revolusikomersial
(periklanan/advertisement), perluasan perdagangan dunia, dan transformasi
feodalisme ke kapitalisme. Kenyataannya, kapitalisme muncul pada abad ke-16
setelah dihapusnya system feudal (Magdoff, 1978:166) artinya feodalisme digantikan oleh kapitalisme, pada
dasarnya identik tetapi dikemas berbeda. Feodalime berbicara mengenai kekuasaan
sosio politik dalam pertanahan (lahan yang dikuasai tuan tanah) yang dikuasai
atau terkonsentrasi secara oligarki oleh keluarga bangsawan dan ksatria (system
Monarki), pada hakekatnya nyaris sama dengan pemusatan kapitalis dan modal
(system kapitalisme) pada beberapa pemilik industry besar yang disebut
korporasi multinasional.
Artinya,
iklim yang diciptakan kapitalisme memaksakan kebutuhan pada perusahaan individu
untuk terus menerus melakukan ekspansi ekonomi. Terus menerus terjadi penumpukan
modal dan pada gilirannya dipercepat oleh pertumbuhan capital yang semakin
terkonsentrasi dimiliki oleh beberapa orang saja.
Menguatnya
peran korporasi dalam perekonomian dunia saat ini merupakan bentuk liberalisme
gaya baru atau lebih dikenal dengan istilah Neo-Liberalisme. Menurut Noam
Chomsky, neoliberalisme ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan seperti
liberalisasi perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga, akhiri
inflasi (stabilisasi ekonomi-makro dan privatisasi), pemerintah harus
menyingkir dari menghalangi jalan. Bagi para penganut neoliberal, peran serta
negara dan pemerintah dalam mengontrol sumber daya alam maupun ekonomi haruslah
dikurangi seminimal mungkin agar pasar bebas dan persaingan bebaslah yang dapat
leluasa mengaturnya. Negara juga dituntut untuk melakukan privatisasi dengan
menjual semua perusahaan-perusahaan negara yang mengatur hajat hidup seluruh
rakyat, kepada investor asing. Alih-alih mengembangkan pola kehidupan sosial
yamg mengedepankan kerjasama, paham ini mengedepankan tanggung jawab
invidualisme, dimana setiap individu dituntut untuk selalu berlari dalam
suasana berkompetisi untuk memecahkan masalah mereka seperti masalah kesehatan,
pendidikan, jaminan sosial serta masalah-masalah lainnya dengan usaha dan
caranya sendiri.
Kebijakan
neoliberal merupakan prasyarat untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga
finansial internasional seperti IMF dan World Bank. Agar sebuah negara mulus
mendapatkan bantuan keuangan untuk meningkatkan kekuatan ekonominya, maka
negara tersebut mau tidak mau harus memberlakukan kebijakan neoliberal.
Indonesia kini merupakan salah satu penganutnya. Hal tersebut nampak dari
kebijakan-kebijakan yang kini berlaku di negara ini seperti: pemotongan subsidi
BBM, privatisasi bank negara, privatisasi PLN, pemotongan subsidi pendidikan,
pengurangan tunjangan kesehatan, privatisasi perusahaan pertambangan dan
perkebunan negara yang dulu merupakan hasil nasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing oleh pemerintahan Soekarno.
Pada masa
pemerintahan Soekarno, gerakan anti kolonialisme sangatlah kuat. Hal ini
berujung pada sentimen kuat terhadap segala sesuatu yang menjadi simbol
negara-negara barat, seperti musik dan film. Bahkan hutang luar negeri
Indonesia, yang merupakan sisa peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda
berdasarkan perjanjian KMB menjadi kewajiban pemerintah RI untuk melunasinya,
dengan sengaja diabaikan oleh pemerintahan Soekarno. Melalui UU no. 86 Tahun
1958, pemerintahan ini melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan
asing, terutama yang berpengaruh pada hajat hidup rakyat banyak. Namun seiring
jatuhnya Orde Lama & digantikan oleh Orde Baru, jatuh pula semangat
nasionalisasi tersebut dan digantikan dengan sistem liberalisasi yang berujung
pada jebakan hutang yang tak mudah untuk dihapuskan. Liberalisasi perekonomian
ini kemudian menarik korporasi-korporasi untuk kembali melirik Indonesia
sebagai lahan basah karena sumber daya alamnya yang melimpah sekaligus sumber
daya manusianya yang murah.
Korporasi
mulai memasuki Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui UU
No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing. UU itu telah membatalkan UU
No. 86 tahun 1958 mengenai nasionalisasi perusahaan asing, termasuk perusahaan
tambang. UU tersebut merupakan sebuah legitimasi bagi perusahaan-perusahaan
asing untuk menanamkan modal dan mendirikan usahanya di Indonesia. Sektor
pertambangan tercatat menjadi sektor industri pertama yang paling menarik
investasi asing pada masa awal Orba tersebut. Salah satu perusahaan tambang
asing paling tua yang beroperasi di Indonesia adalah Freeport.
Pada bulan
juni 1966, tim Freeport terlebih dahulu berkunjung ke Jakarta untuk
memprakarsai pembicaraan mengenai kontrak eksplorasi pertambangan di Timika,
Papua Barat. Pada tanggal 7 April 1967 dikeluarkanlah Kontrak Karya I No.
82/EK/KEP/4 /1967 bagi Freeport agar bisa melakukan operasi pertambangan di
Papua. Ada keanehan dalam terbitnya kontrak karya untuk Freeport tersebut yang
muncul selang 3 bulan dari keluarnya UU PMA dan 7 bulan lebih awal dari
terbitnya UU No. 11 tahun 1967 mengenai pertambangan. Ditengarai hal tersebut
adalah bentuk keterlibatan pihak-pihak asing dalam mempengaruhi kebijakan
pemerintah dalam menyusun UU PMA. Keterlibatan tersebut adalah bentuk
persengkongkolan Negara dengan Korporasi, di sinilah "KORPORATOKRASI"
berjalan.
"Korporatokrasi"
merupakan bentuk perselingkuhan paling haram yang pernah terjadi, antara
Korporasi dengan Birokrasi. Korporasi membutuhkan legalitas yang hanya bisa
diberikan oleh pemerintah, sementara pemerintah membutuhkan peran serta
korporasi untuk mewujudkan program–program pembangunan. Korporasi juga
membutuhkan alat-alat negara penegak kedaulatan dan keamanan sebagai
pelindungnya agar terhindar dari gangguan pihak-pihak yang tidak setuju dengan
kegiatannya dalam mengeruk keuntungan. Dengan uangnya yang melimpah, korporasi
memiliki peluang besar untuk mengontrol pemerintah.
Kesuksesan
Freeport, yang mulai beroperasi sejak tahun 1971, memicu masuknya
perusahaan-perusahaan asing lainnya. Hingga kini ada empat perusahaan
pertambangan terbesar di Indonesia antara lain: Freeport Indonesia, Newmont
Indonesia, International Nickel Indonesia, dan Kaltim Prima Coal (KPC). Kini
setiap jengkal tanah di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi, baik dalam
bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Kontrak Karya
Pertambangan, Kuasa Pertambangan, Kontrak Bagi Hasil Minyak & Gas, Kontrak
Bagi Hasil Batubara, dan sebagainya.
Melalui UU
No. 25 Tahun 2007 mengenai Penanaman Modal, pemerintah RI telah benar-benar
membuka jalan bagi setiap investor, baik asing maupun pribumi, untuk
berlomba-lomba menumbuhkan korporasi-korporasi yang terus menyedot habis energi
rakyat. Penghilangan kata "asing" dalam UU tersebut ditujukan untuk menghilangkan
diskriminasi terhadap modal asing, termasuk menghilangkan seluruh
batasan-batasan yang dianggap mempersulit masuknya modal asing.
2.3 Tinjauan
Epistemologis Manajemen Pendidikan Berbasis Corporate
Bagaimana proses manajemen pendidikan berbasis corporate terjadi? Dalam
kerangka pengembangan pendidikan era industrialisasi guna mendukung
keberhasilan pembangunan ada tiga teori yang bisa kita rujuk yaitu; Teori
Fungsi (Functional Theory), Teori Modal Manusia ( Human Capital
Theory), dan Teori Gerakan Masyarakat (Social Movement Theory).
Teori pertama, functional theory, menekankan tentang pentingnya hubungan
yang erat antara pendidikan dengan perkembangan sosial ekonomi. Teori ini
memberi makna bahwa program pendidikan diarahkkan pada upaya untuk menumbuhkan
dan mengembangkan keseimbangan antara pelestarian nilai-nilai budaya, kesatuan
masyarakat, dan perkembangan ekonomi dalam suatu wilayah. Teori kedua human
capital theori, menurut teori ini pendidikan memainkan peranan dalam
mempersiapkan sumber daya manusia yang terlatih, berdisiplin, memiliki sikap
yang inovatif, berwirausaha, mengembangkan diri, serta mampu merintis dan
mengembangkan berbagai sektor ekonomi di dalam lingkungan kehiduapan. Dan teori
ketiga, social movement theory, memberikan makna bahwa, program
pendidikan dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dengan
program-program lainnya dalam gerakan pembangunan masyarakat. Fungsi pendidikan
adalah memotivasi dan membantu peserta didik dalam mengembangkan sikap,
pengetahuan, keterampilan, dan aspirasi serta untuk meningkatkan kemampuan
berpartisipasi dalam upaya bersama guna meningkatkan taraf hidup dan kehidupan
masyarakat ( Bengt Karlof dan Ostblom,1994:68)
Bila kemajuan teknologi, ekonomi, keberbangsaan, dan kebernegaraan
merupakan sebagian hajat pembangunan, jelas bahwa pendidikan ditafsir sebagai
upaya penumbuhkembangan segenap potensi manusia. Ada keyakinan bahwa
dengan pendidikan manusia dapat mengejawantah dalam wujud yang lebih bermutu.
Bermodal pendidikan baik manusia mampu menyerap, mengembangkan dan meneruskan
anasir-anasir wigati kebudayaan masyarakat.
Everet M. Rogers dalam bukunya Communicarion Technology, (1995:96)
menggambarkan bahwa ditinjau dari segi ekonomi, masyarakat berkembang dari masyarakat
ekonomi agraris (agricultural economics society), menuju ke masyarakat
ekonomi industri (industrial economic society), dan terus menuju
masyarakat ekonomi informasi (information economics society). Menurut
Rogers, masyarakat ekonomi agraris dimulai sekitar 10.000 tahun yang lalu,
ciri-cirinya adalah (1) kegiatan penduduk berfokus pada pemenuhan kebutuhan
dasar terutama kebutuhan pokok, (2) pekerjaan lebih mengandalkan kekuatan fisik
dengan perkakas yang sederhana, (3) lapangan pekerjaan penduduk adalah
pertanian dan sebagian besar penduduk adalah petani, (4) media untuk
mentransfer pesan satu arah.
Masyarakat ekonomi industri telah dimulai di inggris pada tahun 1750 yang
ditandai dengan (1) makin bertambahnya zona pengembangan industri besar dan
padat modal, (2) sumber daya utama adalah energi, dan modal utama untuk
kemajuan adalah uang dan alat canggih, (3) konsentrasi pekerjaan adalah pabrik,
(4) teknologi dasar adalah mesin, (5) media yang digunakan adalah media
elektronik. Sedangkan masyarakat ekonomi informasi menurut Rogers mulai mucul
tahun 1950 di Amerika Serikat dengan diatandai oleh: (1) kebutuhan terhadap
sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi,
(2) lapangan kerja yang dominan di bidang informasi, (3) teknologi dasar adalah
elektronika dan komputer, (4) lembaga pemicu kemajuan adalah pendidikan dan
riset, ( 5) media komunikasi adalah media interaktif ( Pascoe Susan, 1998:102)
Keadaan tersebut di atas menimbulkan kesenjangan yang makin besar antara ketrampilan
yang dituntut oleh industri perusahaan dan pasar-pasar "besar" di
satu pihak dengan ketrampilan "konvensional" yang masih dimiliki oleh
lembaga pendidikan kita di tanah air. Terjadilah kesenjangan antara "demand"
dengan "supply" dan akhirnya berjangkitlah penyakit
sosio-ketenagakerjaan yang sangat ditakuti oleh setiap orang, pengangguran,
menjadi sulit atau bahkan tidak dapat dibendung (Ben Senang Galus, Kompas
24/6/2006). Oleh karena itu sebuah solusi dini yang harus dilakukan oleh
lembaga pendidikan ialah melakukan perubahan paradigma pengembangan pendidikan,
agar sesuai dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja ( Tomy Bendel, dkk,
1993:51).
Menghadapi tantangan tersebut pemerintah Indonesia sepertinya belum
menunjukkan geliat membangun pendidikan bermutu dengan sungguh-sungguh. Hal ini
terbukti dengan adanya alokasi dana yang sedikit terhadap pengembangan
pendidikan dari tahun ke tahun. Berbagai inovasi belum maksimal dilakukan
seperti pembangunan gedung, laboratorium, ruang praktik, peralatan, perabot,
perbaikan gedung sekolah yang rusak, penataran guru, penyempurnaan kurikulum
sesuai dengan laju iptek.
Dalam posisi tersebut sistem pendidikan yang diaplikasikan di
Indonesia seringkali menjadi lontaran ketidakpuasan seolah-olah sistem
pendidikan kita kurang sanggup mengantisipasi problematika ketenagakerjaan yang
bakal muncul. Ini semua memang bukan tanpa alasan sama sekali karena di
negara-negara manapun masyarakatnya senantiasa mempunyai harapan yang besar,
agar sistem pendidikan sanggup menjawab tantangan ketenagakerjaan, meski hal
itu tidak dapat diartikan bahwa satu-satunya tugas yang diemban lembaga
pendidikan adalah menjawab masalah itu ( Ben Senang Galus, Bernas 9/9/2004:4)
UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas memberi panduan yang jelas
bagi lembaga pendidikan, seperti pasal 46 tentang Tanggung Jawab Pendanaan
(1) Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan masyarakat;
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
…
Pasal 47 tentang Sumber Pendanaan Pendidikan
(1)
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan,
dan keberlanjutan.
(2)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
…
Pasal 51 tentang Pengelolaan Pendidikan
(1)
Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
(2)
Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas,
jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
…
Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan
(1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
…
Lebih lanjut peraturan tentang ketentuan Badan Hukum Pendidikan
(BHP) tertuang dalam Undang-undang nomor
9 Tahun 2009, merupakan suatu konsep baru yang
ditawarkan pada dunia pendidikan Indonesia. Konsep tersebut adalah pengubahan
bentuk institusi-institusi pendidikan formal di Indonesia menjadi berbentuk
Badan Hukum. Mulai dari pendidikan dasar (SD, SMP, dan sederajat), pendidikan
menengah (SMA, dan sederajat) hingga pendidikan tinggi. Pengaturan lebih lanjut
mengenai bentuk badan hukum pendidikan ini tertuang dalam UU BHP.
Pasal 1, Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
(1) Badan hukum pendidikan adalah badan hokum yang menyelenggarakan
pendidikan formal.
(2) Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah yang selanjutnya disebut BHPP adalah badan hokum pendidikan yang
didirikan oleh Pemerintah.
(3) Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut BHPPD adalah badan hokum pendidikan
yang didirikan oleh pemerintah daerah.
(4) Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat yang selanjutnya disebut BHPM adalah badan hokum pendidikan yang
didirikan oleh masyarakat.
(5) dst
Pasal 4
(1) Pengelolaan dana secara
mandiri oleh badan hokum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip
kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil
usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan
hokum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.
(2) Pengelolaan pendidikan formal secara
keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:
a. otonomi, yaitu kewenangan dan
kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik
maupun non-akademik;
b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan
semua kegiatan yang dijalankan badan hokum pendidikan kepada pemangku
kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c. transparansi, yaitu keterbukaan
dan kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang
berlaku kepada pemangku kepentingan;
d. penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan
pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan,
serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan;
e. dst..
Pasal 40 PENDANAAN
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum
pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan.
(2) Pendanaan pendidikan formal
yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Badan hukum pendidikan
menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang
tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk:
a. beasiswa;
b. bantuan biaya pendidikan;
c. kredit mahasiswa; dan/atau
d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa.
(4) Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan
dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(5) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh
pemimpin organ pengelola pendidikan.
Pasal 41
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan
pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan
bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan
minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan
kepada badan hukum pendidikan.
(3) Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi,
beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang
menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal
untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
(4) Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3
(sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan
pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai
Standar Nasional Pendidikan.
(5) Pemerintah
bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan
biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar
pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
(6) dst . . .
Sebagai suatu institusi yang berbentuk
Badan Hukum, BHP memiliki esensi dan karakteristiknya yang khas sebagai suatu
badan hukum. Esensi ini merupakan satu hal yang tidak mungkin dapat dilepaskan
dari keberadaannya sebagai suatu badan hukum. Karenanya merupakan konsekuansi
logis jika pada keberjalanannya institusi pendidikan dengan bentuk BHP ini akan
menjalankan mekanisme pengelolaan sebagaimana layaknya pengelolaan badan hukum
(perusahaan/corporate).
2.4 Tinjauan
Aksiologi Manajemen Pendidikan Berbasis Corporate
Kajian tentang hakekat corporate Pendidikan yang diuraikan pada bagian
ontologi dan epistemologi di atas, berimplikasi pada aplikasi pengelolaan manajemen
pendidikan yang dikelola agar dapat mencapai tujuan pendidikan secara efektif.
2.4.1 Kepemimpinan corporate
Peran kepemimpinan sangat penting terutama dalam menentukan keberhasilan
atau kegagalan organisasi bisnis. Dapat dibayangkan, tanpa kehadiran seorang
pemimpin, tidak ada seseorang pun yang mampu memberikan arah, memotivasi,
mengilhami, membentuk komitmen dan semangat, dan tanpa pemimpin suatu upaya
bisnis menjadi mustahil berhasil. Membuat pemisahan pengertian secara eksplisit
antara manajemen dan kepemimpinan dewasa ini masih sangat penting. Secara umum
manajemen sering diberi pngertian tentang perencanaan, pengorganisasian,
pemantauan, pemeliharaan rutin, menangani penyimpangan bagi kemajuan yang
diinginkan, dan sebagainya, suatu kegiatan yang biasanya dipandang relatif
rutin. Adapun kepemimpinan sering dipandang sebagai kegiatan yang lebih
proaktif, sehingga manajemen yang baik dan kepemimpinan yang efektif keduanya
penting untuk keberhasilan suatu organisasi. Dengan perkataan lain, manajemen
adalah tentang menjaga sistem yang tengah berjalan, sedangkan kepemimpinan
adalah tentang menciptakan sistem tersebut, mengembangkan atau mengubah
arahnya. Dengan demikian, setiap pendekatan yang diusulkan untuk kepemimpinan
merupakan bagian yang sama pentingnya bagi pendekatan pengembangan manajemen.
Kesulitannya adalah menemukan orang yang sekaligus memiliki ketrampilan
keduanya, baik keterampilan kepemimpinan maupun manajemen. Meskipun secara
konseptual keduanya dapat dibedakan, namun dalam praktek keduanya hidup
berdampingan dan berjalan seiring, sehingga sulit untuk membedakan keduanya.
Seorang pemimpin yang efektif, menurut definisi, perlu menetapkan arah untuk
perubahan, artinya bahwa keputusan pribadi mereka akan membuat dampak, baik
secara langsung maupun tidak langsung pada pencapaian hasil yang diinginkan. Afiff
Faisal (2013), mengatakan Sejauh mana keputusan seorang pemimpin memiliki
dampak dapat didefinisikan kedalam tiga parameter, yakni: 1) Fokus pada tujuan,
yaitu apa dampak yang dihasilkan pemimpin pada area ekonomi, teknologi, sosial
atau komersial? 2) Jenjang organisasi, yaitu apakah pemimpin hanya beroperasi
pada tingkat dewan direksi atau berperan pada setiap tingkat organisasional
lainnya, misalnya juga memimpin tim kerja proyek? 3) Dampak terhadap
stakeholders, yaitu siapa yang akan terpengaruh oleh tindakan pemimpin?
Seberapa luas atau jauh jangkauan pengaruh sang pemimpin?
Lebih lanjut untuk keperluan efektifitas yang Fokus pada tujuan Bartram et
al (2002) dalam Afiff Faisal (2013),
merumuskan sebuah taksonomi berupa pendekatan yang sebanding dengan balanced
scorecard. Empat kriteria telah
ditetapkan oleh Bartram et al, yakni: 1) Faktor Ekonomi, dimana organisasi yang
efektif harus mampu beradaptasi dengan perubahan iklim ekonomi; 2) Penggunaan Teknologi
untuk pelayanan dan pengembangan produk; 3) Lingkungan Komersial, didefinisikan
dalam hal kemampuan untuk mengembangkan ceruk pasar tertentu, atau dalam
menghadapi persaingan sekaligus mengambil pangsa pasar pesaing; 4) Sosial dan
Pribadi, termasuk langkah-langkah sosial-politik, etika dan efektivitas budaya.
Dalam hal efektifitas pada jenjang organisasi Afiff Faisal (2013)
menjelaskan bahwa organisasi membutuhkan kepemimpinan di semua jenjang atau
tingkatan. Sementara pemimpin organisasi atau tim kerja ditingkat paling atas
akan memiliki dampak terbesar pada pengaturan arah organisasi, dan demikian
pula halnya para pemimpin di tingkat berikutnya juga diharapkan memiliki dampak
dalam membangun dan mencapai tujuan yang diinginkan organisasi. Katakanlah kita
membagi lima jenjang atau tingkatan organisasi , dimana setiap tingkat
dikaitkan dengan derajat kompleksitas yang berbeda tentang pekerjaan, jenis
pekerjaan, kualifikasi dan tuntutan keterampilan yang dibuat pada kompetensi
individu. Dalam hal ini, atribut dan fungsi kepemimpinan menjadi penting pada
semua jenjang atau tingkatan.
Dalam mempertimbangkan dampak, kita juga perlu mempertimbangkan siapa yang
terkena dampak dan sejauhmana ruang lingkupnya. Afiff Faisal (2013) mengatakan
terdapat lima kategori orang yang terkena dampak dari keputusan seorang
pemimpin, yakni: 1) Para pemilik modal (investor dan pemegang saham); 2) Tim
Pekerja; 3) Pelanggan; 4) Pemasok; 5) Lingkungan.
Para pemimpin, yang keterlibatannya memberikan dampak yang luas terhadap
dunia luar, sangat penting untuk mengelola hal tersebut secara efektif. Para
pemimpin organisasi berskala besar di sektor pelayanan publik dan para manajer
senior di perusahaan multinasional berskala besar, dianggap dapat memberikan
dampak kepemimpinan yang lebih luas ketimbang yang dibutuhkan untuk organisasi
mereka sendiri. Mereka dituntut keterlibatannya dalam bidang standar
pengaturan, profesionalisme, kejujuran, tata pemerintahan yang baik, strategi,
dan inovasi. Dengan demikian, dampak seorang pemimpin bisa luas, akan tetapi
juga bisa sempit. Seorang pemimpin mungkin memiliki dampak terhadap tim kerja
lokal mereka , organisasi lokal mereka, lingkungan lokal mereka , baik secara
nasional maupun internasional.
2.4.2 Marketing dalam Jasa Pendidikan
Istilah pemasaran
(marketing) dibagi menjadi dua yaitu marketing pada “profit organization” dan
marketing pada “non profit organization”. Lembaga pendidikan termasuk dalam non
profit organization. Marketing pada fokusnya adalah berbicara bagaimana
memuaskan konsumen. Jika konsumen tidak puas berarti marketingnya gagal. Lembaga
pendidikan adalah sebuah kegiatan yang melayani konsumen, berupa murid, siswa,
mahasiswa dan juga masyarakat umum yang dikenal sebagai “stakeholder”. Lembaga
pendidikan pada hakikatnya bertujuan memberi layanan. Pihak yang dilayani ingin
memperoleh kepuasan dari layanan tersebut, karena mereka sudah membayar cukup
mahal kepada lembaga pendidikan. Jadi marketing jasa pendidikan berarti
kegiatan lembaga pendidikan memberi layanan atau menyampaikan jasa pendidikan
kepada konsumen dengan cara yang memuaskan.
1. Konsep Pemasaran Jasa Pendidikan
Ada beberapa tahap
perkembangan konsep marketing yang digunakan oleh para pengusaha dalam
menghadapi persaingan yaitu:
a. Konsep Produksi
Konsep ini berpendapat bahwa perusahaan membuat piduksi sebanyak-banyaknya.
Dengan produksi masal ini akan diperoleh efisiensi dalam pemakaian input dan
efisiensi dalam proses produksi. Kemudian perusahaan akan dapat menetapkan
harga jual lebih murah dari saingan. Jika hal ini diterapkan dalam jasa pendidikan, bukan
berarti lembaga pendidikan menghasilkan lulusan secara massal dengan
mengabaikan mutu, kemudian menurunkan uang kuliah, agar lebih banyak peminat
masuk.Konsep produksi dalam jasa pendidikan, harus tetap memegang teguh
peningkatan mutu lulusannya, dan uang kuliah tidak terlalu tinggi.
b. Konsep Produk
Konsep ini berlaku sudah sejak lama, pada saat produsen berada pada posisi
kuat.Produsen menghasilkan produk yang sangat baik, menurut ukuran atau selera
produsen sendiri, bukan menurut kehendak konsumen, konsumen demikian banyaknya,
sehingga selera mereka bervariasi.Kesalahan pada konsep produk adalah
menyamakan selera produsen dengan selera konsumen. Akibatnya jika timbul
pesaing baru yang kreatif dalam bidang produksi, maka pengusaha yang menganut
konsep produk ini kan kalah dalam persaingan. Jika diterapkan dalam lembaga
pendidikan, maka pimpinan lembaga tidak boleh berbuat sekehendaknya, walaupun
dalam rangka ingin meningkatkan mutu. Pimpinan harus sering memonitor apa
kehendak konsumen, apa keluhan-keluhan yang dibicarakan oleh para mahasiswa
diluar ataupun dosen, tenaga administrasi dan sebagainya.
c. Konsep Penjualan
Pengusaha yang menganut konsep penjualan (selling concept) berpendapat
bahwa yang terpenting adalah produsen menghasilkan produk, kemudian produk itu
dijual kepasar dengan menggunakan promosi besar–besaran. Jika diterapkan dalam
lembaga pendidikan, maka ada kecenderungan lembaga menggunakan surat kabar, TV,
memasang iklan. Iklan ini harus harus disertai bukti nyata yang menunjang
kekuatan iklannya, iklan tanpa usaha perbaikan mutu lembaga pendidikan akan
menjadi bumerang bagi lembaga itu sendiri. Para pengelola yang menganut konsep
penjulan hanya mementingkan tugasnya saja tanpa memikirkan pelayanannya sudah
baik atau belum.
d. Konsep Marketing (Marketing Concept)
Konsep Marketing ini menyatakan bahwa produsen tidak hanya memperhatikan
diri sendiri tetapi melihat bagimana selera konsumen. Marketing tidak berarti
bagaimana menjual produk agar laris habis, akan tetapi konsep marketing lebih
berorientasi jangka panjang. Dalam konsep ini lebih menekankan pada “kepuasan
konsumen”.Tujuan marketing adalah bagaiman usaha untuk memuaskan selera,
memenuhi “needs and wants” dari konsumen. Istilah needs artinya kebutuhan yang
didefinisikan sebagai rasa kekurangan pada diri seseorang yang harus dipenuhi.
Sedangkan wants adalah keinginan, yang didefinisikan sebagai suatu kebutuhan
yang sudah dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti daya beli, pendidikan,
agama, keyakinan, family, dan sebagainya.
Lembaga pendidikan yang menganut konsep marketing ini tidak hanya sekedar
mengajar siswa tiap hari sesuai jadwal, tetapi mengusahakan agar siswa puas
dengan layanan lembaga dalam banyak hal, misalnya dalam suasana belajar
mengajar, ruang kelas yang bersih, taman yang asri, dosen-dosen yang ramah,
perpustakaan, Lab, dan lain sebagainya harus siap melayani siswa.
e. Konsep Responsibility (konsep kemasyarakatan)
Konsep ini menyatakan
bahwa dunia perusahaan harus bertanggung jawab pada masyarakat terhadap segala
perilaku bisnisnya.Perusahaan harus menghasilkan produk yang dapat diandalkan,
tidak cepat rusak, tidak berbahaya jika digunakan oleh konsumen dan turut
menjaga kelestarian alam.Jika konsep ini diterapkan dalam lembaga pendidikan
maka lembaga pendidikan harus bertanggung jawabt terhadap masyarakat luas yang
dipungut dan yang digunakan, sehingga mutu lulusan yang dihasilkannya
benar-benar maksimal untuk kepentingan masyarakat.
2. Aspek yang Mempengaruhi Marketing Jasa Pendidikan
Berikut beberapa pendapat yang berperan dalam marketing lembaga
pendidikan :
a. Dosen/Guru dan Peneliti
Tenaga Dosen/Guru memiliki peran yang
sangat penting dalam proses mengajar, karena dosen/guru juga merangkap sebagai
pembangkit image positif terhadap siswa. Sebuah sekolah hanya dapat berkembang
baik, apabila di sekolah itu cukup tersedia
tenaga akademik tetap yang secara teliti melakukan penelitian dan menurunkan
kemampuan meneliti itu kepada anak didiknya.
b. Perpustakaan
Perpustakaan merupakan unsur penting dalam pengembangan ilmu dan untuk
mengembangkan suatu perguruan tinggi, seperti dinyatakan berikut:”…the most
important ingredient of an institution of quality is a good library”
(Cardozier, 1987: 146). Di Amerika maupun di Indonesia tim akreditasi sangat
menekankan pentingnya kelengkapan perpustakaan ini. Ada tidaknya perhatian
perguruan tinggi terhadap perpustakaan ini dapat diperhatikan anggaran belanja
yang dialokasikan untuk kebutuhan perpustakaan.
c. Teknologi Pendidikan
Alat bantu berupa teknologi pendidikan sangat besar artinya bagi
pengembangan ilmu, terutama dalam proses belajar mengajar. Sebuah perguruan
tinggi yang memiliki kelengkapan teknologi pendidikaan ini, tentu bukan
untuk pamer, tetapi dapat menggunakan peralatan tersebut secara teratur untuk
membantu kegiatan proses belajar mengajar dalam rangka mempertinggi pelayanan
akademis untuk para mahasiswa.
d. Kegiatan Olahraga
Kegiatan pertandingan olahraga selalu menarik perhatian masyarakat. Dimana
ada petandingan maka masyarakat akan berbondong-bondong datang menyaksikan. Tim
yang menang akan mendapat perhatian khusus dan selalu menjadi buah pebicaraan
mereka, dan juga dalam dunia pers. Oleh karena itu sebuah tim perguruen tinggi
yang tangguh, akan memperoleh banyak keuntungan dari promosi perguruan tinggi.
di negara Indonesia ini sudah banyak perguruan tinggi yang mencari bibit pemain
olahraga dari cabang tertentu seperti sepakbola, basket, tennis, dan lain
sebagainya. Jika perlu calon mahasiswa yang berbakat ditarik dan diberi
beasiswa atau dibebaskan dari uang kuliah.Dengan demikian kegiatan olahraga ini
mempunyai banyak keuntungan, disamping memupuk image positif terhadap perguruan
tinggi, juaga dapat membantu calon mahasiwa yang kurang mampu dapat masuk ke
perguruan tinggi, karena dia pandai berolahraga.
e.
Kegiatan Marching band dan Tim Tim kesenian
Kegiatan marching band
dan tim kesenian dari suatu perguruan tinggi yang menampilkan kebolehannya pada
suatu acara resmi akan memperoleh keuntungan promosi yang luar biasa. Apalagi
jika diadakan pertandingan diantara jtim tersebut dan mendapat juara. Perguruan
tinggi yang memiliki manajemen yang baik, akan mengarahkan perhatiannya lebih
membina kegiatan pad bidang ini, karena ini membuka peluang bagi perguruan
tinggi untuk lebih dikenal oleh masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi lembaga
harus berhati-hati menjaga penampilan timnya, agar tidak mengecewakan penonton,
karena akan membawa akibat negativ terhadap lembaga, yang dianggap mencerminkan
ketidakberesan manajemen intern. Oleh karena itu, dalam setiap penampilan harus
benar-benar disiapkan secara matang.
f. Kegiatan Keagamaan
Kegiatan keagamaan ini
bukan hanya ditandai oleh adanya bangunan fisik keagamaan, tetapi lebih penting
adalah upacara yang dilakukan didalamnya. misal Nuzulul Qur’an, Hari Raya
Qurban dan lain sebagainya.
2.4.3 Dampak Manajemen Pendidikan Berbasis Corporate
Korporasi dalam
globalisasi semakin memegang peranan penting. Banyak korporasi-korporasi baru
tumbuh dan berkembang. Masalah yang kemudian muncul adalah dampak negatif dari
korporasi. Belakangan
ini semakin merebak dan cenderung mengkhawatirkan semua pihak mengenai sistem
pendidikan kita di tanah air. Kekhawatiran ini beralasan sebab pada akhirnya
dunia pendidikan akan menjadi ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan.
Karena sistem pendidikan kita mengatur setiap kekayaan yang dihasilkan oleh usaha
pendidikan dan tidak dikembalikan untuk kepentingan dunia pendidikan, yaitu
untuk kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, dan seterusnya tidak dapat
menjamin pengelolaan pendidikan secara profesional dan bertanggungjawab serta
memarjinalkan hak-hak para peserta didik. Serta pada akhirnya tidak bisa
diharapkan menjadi solusi bagi peningkatan mutu pelayanan pendidikan kepada
peserta didik.
Meski UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas memberi panduan yang
jelas bagi lembaga pendidikan namun prinsip korporasi yang menjadi roh dari UU
ini, tidak bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan
kapitaliasi dunia pendidikan. Sebab segala kekayaan dan pendapatan dalam pengelolaan
pendidikan dilakukan mirip dengan korporasi, dan tidak digunakan untuk
kepentingan peserta didik (Ben Senang Galus, Bernas 2/5.2005).
Sejak awal pengelolaan lembaga pendidikan menjadi korporasi, banyak
masyarakat mengecam akan pola kebijakan tersebut. Pasalnya, paradigma yang
dipergunakan dalam mengelola suatu institusi pendidikan adalah paradigma
liberal dan berlogika pasar dan syarat dengan neoliberalisme. UU Sisdiknas
menjelaskan bahwa biaya pendidikan berasal dari masyarakat dan
pemerintah. Dari sini jelas pemerintah mencari mitra dalam hal
pembiayaan pendidikan. Nuansa privatisasi atau upaya pelepasan tanggungjawab
pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan juga terlihat
dalam legalitas pendidikan.
Payaman Simandjuntak (1995:72) berkomentar bahwa:" Dalam jangka
panjang, memang diperlukan perencanaan dunia pendidikan yang berorientasi pada
pasar kerja. Namun, betapapun pendidikan formal direncanakan, sangat sulit
untuk mampu mengyediakan tenaga yang otomatis cocok dengan dunia kerja”. Dunia
pendidikan umumnya memerlukan waktu yang relatif panjang, sedang teknologi
berubah dengan cepat. Sehingga dunia pendidikan yang didisain cocok dengan
teknologi sekarang ini, lima tahun yang akan datang sudah ketinggalan jaman. Di
samping itu, sistem pendidikan yang demikian menjadi akan sangat mahal,
sedangkan relevansinya akan segera "out of date".
UU Sisdiknas ini diduga terkait dengan berbagai kepentingan pihak-pihak
dominan, terutama para pemodal. Di bawah payung kepentingan pemodal itulah,
nasib pendidikan kita hanya menjadi penyangga industrialisasi. Pola hubungan
pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan proses industrialisasi atau
penguasa modal, bukan lagi kepentingan kemanusiaan sebagai misi sejatinya. Jika
hal itu sungguh terjadi meminjam istilah Pascoe Susan (1998:99) justeru
membiarkan pendidikan masuk dalam killing ground, sebuah area
pembantaian.
Yang menarik adalah bahwa ternyata, betapa banyak lembaga pendidikan di
negeri tercinta ini merangkap berbagai misi ganda. Tugas mencerdaskan bangsa
bukan-satu-satunya tugas dan misi lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan kita
telah berubahn jenis kelaminnya dari tugas mencerdaskan kehidupan bangsa,
menjadi agen-agen kaum kapitalis.
Buktinya lembaga pendidikan kita menjadi penyalur buku, sepatu, tas,
pakaian seragam, komputer, dan sebagainya. Lalu pertanyaannya adakah korelasi
berbagai macam pungutan dengan mutu pendidikan? Itulah pertanyaan yang sering
dilontarkan masyarakat kepada lembaga pendidikan.
Boleh jadi pada awalnya, penyediaan berbagai barang keperluan anak-anak
baru didasarkan pada keinginan memberi bantuan kepada orangtua dalam menyiapkan
fasilitas buat anak-anak baru masuk sekolah. Tujuannya memang amat mulia dan
patut di didukung. Namun niat baik saja rupanya tidak cukup, sebab terbukti
dijadikan sebagai ajang bisnis, mencari keuntungan buat segelintir orang, Kalau
saja sekolah negeri melakukan yang demikian, adalah hal yang wajar, maka jauh
lebih "ganas" lagi sekolah swasta.
Pada tingkat satuan pendidikan, studi yang pernah dilakukan oleh Robinson
(2003) mengungkapkan, hanya 35 persen hubungan antara besar kecilnya biaya
pendidikan dengan berbagai indikator mutu pendidikan seperti angka partisipasi,
angka drop out, prestasi belajar siswa dan sampai pada outcome pendidikan.
Pelaksanaan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dengan mengacu
kepada UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta berbagai perangkat
peraturan yang menyertainya, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam manajemen
anggaran pendidikan. Diantarannya adalah semakin besarnya peranan sekolah di
satu pihak, dan semakin berkuranngnya peran pemerintah dalam menentukan
berbagai kebijakan yang berkenan dengan penggunaan anggaran pendidikan.
Di negara maju, biaya yang dikeluarkan oleh orang tua siswa adalah
hanya untuk menunjang proses belajar siswa, misalnya biaya kursus atau biaya
privat. Sedangkan biaya pokok pendidikan seluruhnya menjadi kewajiban
pemerintah. Lain halnya dengan kita di sini, hampir seluruh biaya pendidikan
dibebankan kepada orang tua. Bahkan ada sekolah untuk menentukan diterima atau
tidaknya siswa sudah disodori kuitansi atau sumbangan yang semestinya itu tidak
perlu terjadi.
Pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai
kepentingan pihak-pihak dominan, terutama para pemegang kekuasaan politik dan
kekuasaan modal. Terutama dalam keterkaitannya dengan industrialisasi,
kepentingan kapitalisme dalam dunia pendidikan telah bisa kita saksikan sejak
tahun 1970-an. Sejak tahun ini, bersamaan dengan tegaknya pilar ideologi
pembangunanisme (developmentalism) yang dibawa oleh pemerintahan Orde
Baru, pendidikan kita mulai kehilangan rohnya sebagai satu pilar utama
peningkatan SDM yang memiliki visi kemanusiaan ( Mansur Faiz, 2005 :4)
Di bawah payung pembangunanisme itulah pendidikan kita hingga sekarang saat
situasi neoliberalisme tegak berdiri, nasib pendidikan kita hanya menjadi
penyangga industrialisasi. Apa yang disebut dengan pendidikan model link and
match mungkin tepat untuk memberikan label pada pendidikan yang tidak murni
ini. Pola hubungan pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan proses
industrialisasi atau politik penguasa. Dengan demikian, pendidikan selalu
diarahkan pada kepentingan-kepentingan dagang atau politik, bukan lagi
kepentingan kemanusiaan sebagaimana misi sejatinya.
Di bawah tekanan industrialisasi dan politisasi pendidikan inilah para
peserta didik kemudian hanya bisa menjadi mesin-mesin industri yang harus
tunduk dan patuh pada kepentingan pragmatis. Mungkin bukan hanya dalam perguruan
tinggi, mahalnya pendidikan pada sekolah dasar pun sebenarnya telah terjadi.
Biaya pendidikan yang harus ditanggung untuk memasuki sistem sekolah sangatlah
beragam, tentu jumlahnya pun sangat besar, mulai uang bangunan, uang buku, uang
seragam, uang ujian, belum lagi pungutan-pungutan lainnya.
III.
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tinjauan
ontologi manajemen Pendidikan Berbasis Corporate adalah usaha pemerintah untuk
menjawab kebutuhan sistem pendidikan dalam era insdustrialisasi dengan berbagai
kompleksitasnya diantaranya mengantisipasi masalah ketenagakerjaan
(pengangguran). Disisi lain perekonomian Indonesia kini dan di masa mendatang
tidak lagi sepenuhnya mengandalkan hasil ekspor migas sebagai tulang
punggungnya. Ini berarti dituntut adanya peningkatan produksi komoditas jika
ingin meningkatkan devisa Negara. Konsekwensinya, sektor industri hulu maupun
hilir serta sektor jasa perlu ditingkatkan. Permintaan tekhnologi yang demikian
pesat juga membawa perubahan-perubahan dalam dunia kerja. Hal ini tidak sedikit
dampaknya dalam dunia pendidikan.
Tinjauan epistemologi manajemen Pendidikan berbasis corporate adalah proses
pengembangan pendidikan era industrialisasi guna mendukung keberhasilan
pembangunan yang merujuk pada tiga teori yaitu; Teori Fungsi (Functional
Theory), Teori Modal Manusia ( Human Capital Theory), dan Teori
Gerakan Masyarakat (Social Movement Theory). Dari segi ekonomi,
masyarakat berkembang dari masyarakat ekonomi agraris (agricultural
economics society), menuju ke masyarakat ekonomi industri (industrial
economic society), dan terus menuju masyarakat ekonomi informasi (information
economics society). Terjadinya kesenjangan antara "demand"
dengan "supply" menyebabkan timbulnya masalah sosio-ketenagakerjaan
yaitu pengangguran. Oleh karena itu sebuah solusi dini yang harus dilakukan
oleh lembaga pendidikan ialah melakukan perubahan paradigma pengembangan
pendidikan, agar sesuai dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja. Menghadapi
tantangan tersebut pemerintah Indonesia telah menetapkan UU Sisdiknas No 20
Tahun 2003. Dan UU Badan Hukum Pendidikan No. 9 Tahun 2009. Esensi yang
menjadi ruh UU Sisdiknas dan BHP adalah pemberian otonomi bagi penyelenggara
pendidikan, supaya otonom dan berbasis sekolah dapat diberlakukan.
Tinjauan aksiologi manajemen pendidikan corporate berkenaan dengan
bagaimana cara mengelola manajemen pendidikan yang baik, yakni dengan
menempatkan peran penting kepemimpinan dan pemasaran dalam manajemen pendidikan.
Peran kepemimpinan sangat penting terutama dalam menentukan keberhasilan
atau kegagalan organisasi. Dalam pemasaran, Lembaga pendidikan termasuk dalam non profit
organization yaitu sebuah kegiatan yang melayani konsumen, berupa murid, siswa,
mahasiswa dan juga masyarakat umum yang dikenal sebagai “stakeholder”. Lembaga pendidikan
pada hakikatnya adalah kegiatan memberi layanan atau menyampaikan jasa
pendidikan kepada konsumen dengan cara yang memuaskan.
3.2 Saran
Memerhatikan nasib pendidikan di negara ini, kita hanya bisa mengelus dada.
Yang paling menyedihkan dari semuanya adalah bahwa pemerintah selama ini
terkesan tidak serius memberikan perhatian bagi terpenuhinya pendidikan sesuai
dengan amanat UUD 1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Ironis pula ketika biaya
pendidikan yang minim tersebut ternyata banyak mengalami kebocoran yang mana
kejahatan tersebut dilakukan oleh para praktisi pendidikan itu sendiri. Oleh
karena itu, harapan kita kepada pemerintah agar kembali
menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses memajukan rakyat agar bangsa
ini bisa membuktikan bahwa Indonesia masih ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan
Afiff Faisal, Kepemimpinan
dalam Manajemen Korporasi, Jurnal Nasional, http://fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/239093-kepemimpinan-dalam-manajemen-korporasi diunggah 2
September 2013
Alma, Buchari,Pemasaran
Stratejik jasa pendidikan,Bandung: Alfabeta, 2003
____________,Manajemen
Pemasaran Dan Pemasaran jasa. Bandung: Alfabeta, 2007
____________, Manajemen
Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan. Bandung: alfabeta, 2008
Ali Mahrus, Kejahatan Korporasi, Yogyakarta: Arti
Bumi Intaran, 2008
Barnadib. 1987. Filsafat Pendidikan:
Sistem dan Metode. Yogyakarta: IKIP
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat
Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Koesoemahatmadja Etty Utju R, Hukum Korporasi, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.
Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana.
2008. Manajemen Pendidikan. Edisi ke-1. Yogjakarta: Aditya Media
bekerjasama dengan FIP UNY.